Pernahkah kita memaknai sebuah pantun seperti ini “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, pantun terserbut akan semakna dengan pepatah seperti ini “belajarlah sejak dini agar kelak jadi mudah, berusaha keraslah sejak dini agar kelak mendapatkan hasil yang memuaskan, berdoalah dengan ikhlas agar kita mendapat berkah”. Dan pernahkah kita membawa novel yang berjudul Sengsara Membawa Nikmat? Jika belum pernah maka coba baca, mudah-mudahan menjadi sebuah hiburan.
Novel Sengsara Membawa Nikmat, ditulis oleh Sutan Sati yang diterbitkan Balai Pustaka (cetakan pertama tahun 1929). Setelah saya baca novel tersebut maka saya ringkas seperti ini, jika pembaca pernah membacanya maka bisa jadi ringkasannya akan berbeda.
Dari judulnya, Sengsara Membawa Nikmat, tersirat akhir cerita novel ini. Menurut Teeuw (Sastra Baru Indonesia 1, 1980), ’’Buku ini menarik terutama karena hidup dan lincahnya si pengarang membawa kita ke dalam suasana desa Minagkabau dengan kejadian sehari-hari dan segala reaksi manusiawinya.’’ (hlm 90). Temanya sendiri lebih banyak terpusat pada pengembaraan tokoh utamanya, Midun. Gambaran pengembaraanya sendiri terasa lebih realistis jika dibandingkan dengan Muda Teruna karya Muhammad Kasim yang masih terasa pengaruh bentuk hikayatnya. Begitu juga latar tempatnya tidak lagi di seputar wilayah sumatra saja, melainkan juga di jawa (Bogor dan Jakarta).
Inilah ringkasannya. Baca entri selengkapnya »