Oleh ARY GINANJAR AGUSTIAN
NEGERI jiran Malaysia layak menjadi guru bagi Indonesia. Padahal, tahun 1970-an mereka berguru kepada kita. Perkembangan ekonomi berpadu dengan spiritualitas telah membuat negeri itu mampu menembus kelas dunia.
Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan Malaysia yang berhasil masuk jajaran perusahaan elit dunia. Sebut saja Petronas yang memiliki jaringan di 34 negara dan masuk dalam 10 perusahaan dunia yang menghasilkan pendapatan (revenue) terbesar.
Training ESQ sejak tahun 2006 lalu sudah berhasil masuk ke negeri jiran bahkan sudah berdiri ESQ Leadership Centre Sdn Bhd. Sudah tujuh angkatan digelar dengan jumlah peserta menembus angka 400 orang setiap kali training. Namun, “ESQ In House Training” baru sekali diadakan dan perusahaan yang mempeloporinya tak tanggung-tanggung, Petronas!
Sejak Selasa-Kamis (15-17/5) sebanyak 250 pejabat dan karyawan Petronas mengikuti training ESQ di Hotel Marriot, Putra Jaya, Kuala Lumpur. Beberapa pejabat penting di Petronas juga ikut dalam training seperti Yasier Abdurrahman (GM Petronas Malaysian Training), Noor Raina Yeong bt Abdullah (GM HRM Petronas Carigali), dan Aminuddin Jantan (GM Coorporate ICT Petronas).
Mengapa perusahaan Malaysia seperti Petronas bisa berjaya dan menjadi perusahaan kelas dunia? Kalau kita cermati, maka jawabannya bukan sebatas pada kekuatan finansial melainkan nilai-nilai spiritualitas yang mereka pegang teguh.
Untuk bisa meraih kelas dunia membutuhkan manusia-manusia besar yang bermotivasi besar, manusia spiritual yang mampu menyinergikan kekuatan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Manusia yang memiliki motivasi untuk membentuk dirinya hingga kinerjanya mampu memberi refleksi sifat spiritual sang Malaikat Allah. Mereka bekerja dengan penuh semangat pelayanan tanpa reserve, memegang teguh semboyan “I am doing my best- my utmost”.
Dalam kompetisi menuju world class level (kelas dunia) misalnya, upaya untuk membangun spirit positif, moral, serta jiwa kooperatif di antara tim, diperlukan spiritual komitmen yang membara dalam dada. Tanpa adanya ketangguhan diri-spiritual integrity-integritas yang tinggi, impian untuk memenangkan pertarungan dunia akan jauh dari jangkauan.
Karena dalam integritas bak Malaikat Allah itulah terdapat ‘prinsip memberi’ yang penuh keikhlasan, seperti secara sukarela membagi sumber daya yang dimiliki dan secara proaktif mencari solusi permasalahan tim demi kemajuan. Semua dilakukan dengan semangat pelayanan serta ketulusan untuk memberi.
Era kompetisi yang ada di hadapan kita tak memungkinkan orang-perorangan bekerja sendirian dan tidak mungkin selalu dalam rutinitas pengawasan. Tak cukup tenaga untuk mengawasi keberlangsungan setiap pekerjaan, dari waktu ke waktu.
Seperti kompetisi lari maraton, ketika diletuskan peluru ke angkasa, seluruh pelari harus berlari secara serempak berkejaran, bekerja sama memenangkan kompetisi. Tak ada waktu berkompromi, yang ada hanya semangat untuk menang. Yang ada hanyalah strategi memenangkan sebuah keadaan, bagaimana pun tingkat kesulitannya.
Begitu banyak pekerjaan ‘ekstra’ yang tak cukup hanya dibayar dengan sejumlah tenaga dan waktu yang setara banyaknya. Apabila zaman dulu, target 2 wortel ada di depan mata, maka yang dibutuhkan bukanlah 2 kali kecepatan kelinci melompat, melainkan 5 bahkan 10 kali kecepatan kelinci melompat.
Sekarang di era kompetisi yang penuh persaingan, apabila target 5 wortel, bisa jadi yang harus dikeluarkan 10 sampai 20 kali kelipatannya. Bagi manusia-manusia yang memiliki spiritual komitmen tinggi, harganya akan terlalu murah bila dibarterkan dengan setumpuk dolar dan sejumlah penghargaan dunia karena prinsip hakiki yang dimilikinya adalah bekerja tanpa pamrih dengan penuh keikhlasan mencari keridaan Sang Pencipta.
Kerja keras serta kreativitas manusia yang tiada henti, dituntut untuk mampu menjembatani berbagai permasalahan duniawi. Tiada rasa lelah, tiada secuil kata menyerah, yang ada hanyalah spiritual komitmen akan kepastian janji Allah.
Teladan akan nilai-nilai pelayanan-pengawasan yang paripurna (the great integrity) seperti yang dimiliki seorang malaikat itulah yang harusnya menjadi satu-satunya perspektif menyeluruh, yang mampu menggerakkan prinsip bekerja kita sehari-hari. Prinsip melayani (hospitality) yang berfokus pada lillahi taala, menolong serta memberi pelayanan yang memenuhi kriteria kepuasan.
Ia juga bekerja dengan kualitas yang optimal, secara total mengerahkan segenap daya upaya demi kemaknaan yang paripurna dari Sang Pencipta. Ia tak butuh pujian atau pun penghargaan.
Baginya, cukuplah keikhlasan dalam dada mengerjakan seluruh tanggung jawab yang diemban, juga pengharapan akan reward cinta dari Sang Malaikat berupa “tepukan halus” di bahu kanannya. Wallahualam.